Friday, August 7, 2015

Mengejar NH Dini



Baru kemarin rasanya saya meminjam buku NH Dini: Pada Sebuah Kapal dari perpustakaan sekolah. Waktu itu, hanya satu nama pengarang perempuan yang saya ingat yaitu: NH Dini. Jadi saya, yang sesungguhnya sangat menyukai pelajaran bahasa Indonesia, dibandingkan Kimia dan Fisika (salah jurusan kayaknya), merasa perlu meminjam dan membaca buku-buku beliau. Seingat saya, ada tiga judul yang pernah saya baca. Tapi ingatan pada cerita dalam buku-buku beliau? Nihil. Rupanya otak remaja belasan tahun saya nggak nyandhak untuk memahami tulisan NH Dini. 

Pertemuan kembali dengan karya beliau terjadi baru-baru saja sebetulnya. Kurang lebih empat tahun yang lalu. Saya lupa buku mana yang duluan saya beli dari setumpuk buku ini. Tapi, saya langsung jatuh cinta, terutama pada buku-buku Serial Cerita Kenangan. 

Koleksi Buku NH Dini
Bagi penggemar berat, mestinya tahu ada ‘Gap’ dari koleksi ini. Kalau ada pembaca tulisan ini yang berbaik hati memberikan informasi tentang di mana buku yang belum saya punya bisa didapatkan, akan saya terima dengan senang hati. :D Di antara lain buku yang saya cari: Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sekayu, Dari Fontenay ke Magallianes, dan Pada Sebuah Kapal

Jadi, kita lompat pada pertemuan hari Kamis, 6 Agustus 2015. 

Hari itu termasuk satu hari yang sudah saya tunggu-tunggu. Sudah saya sampaikan pada keluarga, pokoknya pada hari itu saya harus pergi untuk sebuah acara penting. Penting buanget karena acara ini lebih dari sekedar ketemu beliau di acara launching buku lalu minta tanda tangan dan foto-foto. Lebih mahal dan berharga dibandingkan ikut acara pelatihan menulis dengan beliau, misalnya. Ini adalah acara makan siang dengan NH Dini. Semi privat pula, karena beliau hanya kerso ketemu sedikit orang. Ini adalah pengalaman yang nggak akan saya dapatkan di tempat lain.

Alhamdulillah, melalui Dewi Rieka dan Artie Ahmad, saya dapat kesempatan ini.
Terus mengapa cerita pertemuan dengan NH Dini jadi “Mengejar NH Dini?” Karena, ehm, begini: 

Memang dalam cerita mesti ada ‘twist’ biar menarik. Saya sudah berangkat ‘ke bawah’ sejak pukul sembilan pagi. (Orang Semarang pasti paham kalau ‘ke bawah’ itu mengindikasikan rumah saya ada nun jauh di daerah Semarang atas.) Jam sebelas sudah sampai di ‘lokasi’, (setengah jam sebelum jadwal janjian). Mbak Dian Nafi sudah di sana juga. Kami sempat ngobrol-ngobrol nervous soal mau ketemu NH Dini! Setengah jam berlalu, saya mulai gelisah. Kenapa bu Dini belum juga muncul? Dari cerita di buku-bukunya saya yakin beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu. 

Jadi, ini ‘twist-nya’:
Ternyata, restoran tempat saya dan mba Dian Nafi menunggu, bukanlah restoran yang dimaksud. Kami nunggu di Nglaras Roso cabang Thamrin, bu Dini (dan Artie) nunggu di Ungaran! Itu berarti sekitar 25 km jauhnya dari lokasi kami. (Yang sebetulnya malahan deket dari rumah saya). Namanya sama, lokasinya beda. Jeng jeng jeng!

Di ujung telepon sayup saya mendengar suara bu Dini. Dan Artie, menambah suasana horor di hati saya dengan kalimat, “Tapi Eyang nggak mau nunggu lho, Mbak.”
“Saya berangkat ke sana, mbak Artie, kalaupun nanti bu Dini sudah tindak, saya pasrah,” tutup saya di telepon.
Maka dengan menatap galau mata mbak Dian Nafi, “Yuk, Mbak, kita nyusul ke sana.” Mbak Dian langsung mengiyakan. 

Bismillah. Saya tahu waktu normal berkendara dari Jl. Thamrin sampai Ungaran adalah 45 menit, bahkan bisa satu jam. Selain jauh, jalanan sering padat. Mbak Dedew, yang waktu itu di dalam bus juga langsung balik kanan. 

Saya  nyetir senekad mungkin -sambil membayangkan bu Dini yang mungkin marah pada kami-,  sambil ngeri-ngeri sedap menyalip dan ngomelin pengemudi lain yang mendadak jadi siput, kami berdua selamat tiba di lokasi dalam waktu 25 menit! Nyaris bareng dengan Mbak Dedew yang saya lihat ‘loncat’ dari dalam taxi. Hihihi. Kami semua ‘mengejar’ waktu berharga kami bareng NH Dini.
Seberapa menit-pun yang tersisa, kami harus sempat ketemu!

Buru-buru mencium tangan beliau, kami bertiga berupaya meminta maaf. Bu Dini berkata kalau beliau harus istirahat pada jam satu karena sore harinya ada janji yang lain. Karena kondisi kesehatannya, beliau harus cukup berbaring sebelum melakukan aktivitas lain. Makanya tidak bisa menunggu kami terlalu lama. Tapi untunglah beliau tetap ramah, dan Artie langsung jadi ice breaker dengan berkata, “Ya udah, sekarang buku yang mau ditanda-tangani dikeluarin to, Mbak.”


Whoa! Langsung seisi ransel saya keluarin semua. Hehehe. Karena sebelumnya saya blank, tidak tahu mau bicara apa. Akibat habis lulus jadi pembalap, segala pertanyaan yang sudah saya persiapkan sejak sebulan lalu menguap di udara. Untungnya obrolan dengan eyang Dini mengalir begitu saja. (Iya, saya memang jadi labil ketika manggil beliau. Ibu atau eyang?)

Saya sampaikan rasa penasaran saya mengenai sebanyak apa catatan yang eyang Dini miliki. Kok beliau bisa sangat rinci ketika menuliskan suatu peristiwa, sampai ke warna baju, kadang potongan rambut, cara berjalan, dan lain sebagainya. Terutama saya kagum karena seri Cerita Kenangan adalah kisah beliau sendiri. Kisah nyata, nggak ngarang. 

Intermezo: ----Jadi, dear pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang NH Dini, bacalah buku serial Cerita Kenangan ini. Antara lain: Sebuah Lorong di Kotaku, Kemayoran, Jepun Negerinya Hiroko, sampai buku beliau terbaru: Dari Ngalian ke Sendowo. Baru release tahun ini (2015), jadi buruan cari di toko buku. Susah lho nyari lagi kalau sudah habis.----
Buku Baru eyang NH Dini

Salah satu serial Cerita Kenangan. Covernya dilukis oleh Eyang sendiri, lho! Sayang lukisan itu sampai saat ini tak diketahui rimbanya.

Sedangkan kisah-kisah lainnya, eyang banyak mengambil inspirasi dari peristiwa yang juga pernah beliau alami/ ketahui sendiri. Kan hebat, beliau masih ingat secara rinci kejadian belasan sampai puluhan tahun yang lalu. 

Eyang Dini bilang it’s a given. Bahwa beliau punya ingatan ‘filmis’. Bahwa banyak peristiwa meski telah puluhan tahun yang lalu terjadi, bisa muncul di dalam ingatan beliau seperti film yang diputar.
Selain itu eyang punya  ‘buku Merah’. Buku tempat beliau mencatat semua adegan yang dirasa penting. Jika eyang mendapati kejadian menarik, akan langsung dicatatnya, lalu, beliau akan memindahkan catatan itu ke dalam ‘buku Merah’. Buku merah ini akan menjadi sumber penting bagi adegan-adegan di dalam cerita. 
 
:) ;) :)
Eyang Dini juga bercerita kisah ketika beliau menerjemahkan karya sastra Perancis dari seorang peraih hadiah Nobel, Albert Camus: La Peste, (diterjemahkan menjadi 'Sampar'). Beliau kekeuh memegang prinsip bahwa sebuah karya sastra tidak bisa 'dipotong' seenaknya, apalagi demi mengejar jumlah halaman. Bahkan eyang Dini berupaya memahami benar pesan yang ingin disampaikan sampai kata per kata. Tidak sekedar menerjemahkannya menjadi bahasa Indonesia. Wah, jadi kesentil kan, dengan fenomena terjemahan ngawur jika sekedar mengetikkan kalimat ke translator tanpa mengerti maknanya.

Kami terus berbincang, kebanyakan tentang cerita-cerita dalam buku-bukunya. Tentang sahabat-sahabat beliau, dan bagaimana saya mengagumi ketelatenan beliau mengurus anak-anaknya ketika beliau mengikuti tugas suaminya waktu itu dan berpindah-pindah negara. 

Begitupun saya kagum dengan keahlian beliau dalam memasak. Akibat menyampaikan rasa penasaran saya akan ‘sambal bajak’ yang beliau selalu bawa kemana-mana ketika di luar negeri, kami jadi punya ‘janji kencan’ lagi dengan eyang! Amiin, semoga terjadi.
 
Eyang, semoga sehat selalu.
Doa kami semua, di usianya yang menjelang 80 tahun, semoga eyang NH Dini selalu sehat, sehingga dapat terus berkarya, menginspirasi, dan meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi Indonesia. 

Waktu terus berlalu, dan waktu hampir mendekati jam setengah dua! Alhamdulillah, eyang kerso berbagi dengan kami lebih dari waktu yang beliau siapkan sendiri. 

Sebelum pulang Eyang NH Dini tidak segan berfoto bersama kami. Hua. Rasanya haru dipeluk dan cipika cipiki dengan seorang NH Dini. Seseorang yang sudah saya kenal namanya sejak jaman sekolah, dan muncul di buku-buku pelajaran bersama HB Jassin, WS Rendra, dan Chairil Anwar!
 
Puisi WS Rendra yang eyang Dini cantumkan dalam novelnya.
Dalam mobil (dimana saya udah rileks nyetirnya) saya dan mbak Dian Nafi norak-norak bergembira nggak jelas gitu, mengenang kejadian yang baru kita alami. Hahaha. Mungkin ini yang dirasakan para ABG ketika nonton boysband, atau para Wota yang nonton AKB 48. Hihi. 
Thank you, Artie
 Thank you, very much, buat Artie Ahmad (Penulis buku Turning Seventeen à cari di tobuk yaa). And the lovely Dewi Rieka. Maknya kos Dodol ini memang really amazed me! (I love you full, Mak. 'Kedodolan' itu berulang kali membawa berkah!)